Selasa, 04 Maret 2014

Mengungkap Misteri Asal Usul Nenek Moyang Bongso Batak


Misteri asal usul nenek moyang orang Batak yang hidup di Sumatera Utara, dan sebagian wilayah Aceh Singkil, Gayo, serta Alas, kini sudah mulai diketahui. Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek moyang Bongso Batak berasal dari keturunan suku Mansyuria dari Ras Mongolia.

Fakta ini diungkapkan Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan, Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalah berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Moderen”

Pada masa itu, nenek moyang orang Batak ini diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (Cina). Dari peristiwa migrasi itu, saat ini di pegunungan Tibet dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar.

“Suku Mansyuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar,” jelas Bungaran seraya menambahkan fakta ini diketahuinya dengan membuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand.

Selain melalui peneletian langsung, pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Mansyuria, dan Edmund Leach, Rithingking Anhtropology yang mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Mansyuria dengan Suku Batak.

Hasil penelitian dan kajian literatur itu, Bungaran mendapati bahwa setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini.


Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Mansyuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kmer Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, suku Mansyuria menjadi manusia kapal menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja). 


  
Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.

Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh.

Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.

“Penerus keturunan suku Mansyuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh,” urai Bungaran.

Dari catatan Bungaran, generasi penerus suku Mansyuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo.

Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun.

“Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak,” beber Bungaran.

Menurut sejumlah literatur, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan sikap kebudayaan mengenang (Kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini.

Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni hula-hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat miskin, juga harus tetap dikasihi.


“Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti sejak dahulu hingga kini masih terpilihara dan tetap dijaga kelestariannya oleh suku Batak,”


Tulisan ini dikutip dari: http://habatakon01.blogspot.com/2012/05/mengungkap-misteri-asal-usul-nenek.html

Wakil Bupati Kabupaten Samosir

Setelah hampir setahun lowong ditinggalkan almarhum Mangadap Sinaga, jabatan Wakil Bupati (Wabup) Samosir segera akan terisi. Pasalnya, berkembang informasi Bupati Samosir Mangindar Simbolon sudah menyimpan dua nama yang akan diusulkan kepada DPRD Samosir.
Dua nama tersebut masing-masing Rapidin Simbolon dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Juang Sinaga dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Menurut informasi tersebut, keduanya telah mengikuti proses semacam fit and propert test yang dilakukan Mangindar, di ruang kerjanya, Jumat (22/11).

Penggantian wakil bupati ini, sesuai amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Dalam ketentuan tersebut, kekosongan jabatan posisi wakil bupati yang ditinggalkan Almarhum Mangadap Sinaga dapat diisi oleh bupati dan partai pengusung, pemenang Pilkada kepada DPRD minimal 18 bulan sebelum masa pemerintahan berakhir.

Hal ini dinilai akan menjawab pertanyaan sejumlah kalangan terkait lambannya pengisian jabatan tersebut. Pasalnya, hampir satu setengah tahun belakangan ini roda pemerintahan Kabupaten Samosir berjalan pincang. Bupati sering kunjungan kerja keluar daerah, sementara Sekdakab dinilai kurang maksimal menjalankan roda pemerintahan.

Fraksi Karya Sejahtera, misalnya, dalam sebuah rapat paripurna di DPRD Samosir melalui juru bicaranya Tahi Sitanggang sempat mempertanyakan tidak adanya upaya pengisian jabatan wakil bupati. "Mengapa jabatan Wabup sampai satu setengah tahun lamanya kosong. Kalau saja wakil bupati ada yang menjabatnya, kekosongan tata pemerintahan ini tidak akan terjadi," ujar Tahi.

Hal yang sama juga disampaikan Fraksi PNI Marhaen melalui Freddy Tulus. Menurutnya, sangat penting kehadiran wakil bupati dalam situasi seperti ini. Karena itulah, dia mengingatkan agar Bupati Mangindar Simbolon bersama partai pengusung segera mengusulkannya, guna menunjang kelancaran tata pemerintahan.

"Posisi wakil bupati sudah sepatutnya diisi. Dalam kaitan ini, kita (DPRD-red) sifatnya hanya menunggu usulan dari bupati. Ketiadaan pejabat wakil bupati, menjadikan roda pemerintahan berjalan timpang. Apalagi disaat bupati dan sekda sedang tidak aktif bekerja. Dampaknya, masyarakat juga yang akan terganggu," ujarnya, Senin (25/11).

Untuk diketahui pasangan Bupati/Wakil Bupati Samosir periode 2010-2015 Mangindar Simbolon-(Alm) Mangadap Sinaga diusung gabungan sejumlah parpol, di antaranya Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Rapidin Simbolon saat ini berusia 45 tahun yang beristeri Sorta Ertaty Br Siahaan, adalah putra asli Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir, yang bermukim di Bekasi, Jawa Barat. Rapidin diketahui menekuni dunia bisnis gas dan mendirikan hotel di Pangururan. Sementara Juang Sinaga juga putra asli Kecamatan Palipi, Samosir dan tinggal di Jakarta

Tulisan ini dikutip dari: http://medanbisnisdaily.com/news/read/2013/11/26/64297/nama_rapidin_simbolon_dan_juang_sinaga_mencuat/#.UxaqYeO89EQ